Cerpen ini saya tulis September 1995. Astaga! Saya baru 13tahun waktu itu! *tutup muka malu!
Yah... alur ceritanya sama sekali ngalor-ngidul, tapi saya enjoy sekali waktu menulis cerita ini dan saya harap kalian juga enjoy membacanya....
TANGGA-TANGGA AJAIB
“Hoi, awas!!!”
sebuah suara bass terdengar keras di telinga Bella. Dia menoleh, tiba-tiba…
Bluk!!!
Sebuah bola
basket menghantam wajahnya.
“Gila, lo!
Apa-apaan, nih?!” Bella mulai ngamuk. “Siapa yang berani berbuat gitu sama
gue?! Siapa?!” Bella ngamuk beneran!!!
“Sori..” suara
bass tadi berbunyi lagi. “Gue nggak sengaja.”
Bella berbalik.
Ow… Andi rupanya. Melihat cowok yang super keren itu, kemarahan Bella berubah
jadi kegugupan.
“Sori. Sakit ya?
Kalo lo mau bales, nih silakan. Gue emang salah…” ujarnya lagi sambil
menyodorkan bola basket yang tadi ‘mendarat’ di muka Bella yang mulus.
“Udah, deh,
nggak usah dipikirin.” Ujar Bella gugup.
“Eh, tapi coba
gue lihat muka elo yang ketimpuk bola.”
Dengan lembut
Andi meraba wajah Bella. Wow! Bella serasa terbang ke awan-awan.
“Kok muka elo
panas! Elo demam ya?!” tanya Andi cemas.
“Ka… kayaknya
gue lebih baik pulang.” Bella langsung berlari pulang.
*
Sampai di rumah,
Bella langsung masuk kamar.
“Bella! Makan
siang dulu!” teriak Mama.
“Bella belum
lapar, Ma! Entar aja makannya!” jawab Bella.
Suara Mama tidak
terdengar lagi. Di dalam kamarnya, Bella masih sibuk menenangkan debar
jantungnya. Perlahan diambilnya buku Diary-nya dan mulai menulis.
Gila! Aku benar-benar nggak nyangka! Andi
meraba wajahku! Wow! Benar-benar sebuah miracle!
Tulisnya
“Bella! Mau ikut
jalan-jalan nggak?” Putra, kakaknya mulai bersuara.
“Iya! Bella
ikut!” dengan sigap dia mengganti seragamnya dengan baju casual-nya.
Tak lama
kemudian, mereka berdua sudah berada di jalan yang sangat asing buat Bella.
“Kak, ini
dimana?”
“Ikut aja! Ntar
juga tau.” Kakaknya mengedipkan sebelah matanya.
Bella terdiam.
Suasana di situ benar-benar asing. Tempat itu lebih pantas disebut ‘pasar
malam’. Ramai sekali! Dimana-mana banyak orang yang sibuk menjajakan barang
dagangannya. Tiba-tiba, kakaknya berhenti di sebuah kios. ‘Peramal Deloris’
tertulis di atas kios itu.
“Bella, mau coba
diramal nggak?” tanya kakaknya.
“Boleh,
boleh!!!” Bella tampak bersemangat.
“Masuk gih
sana.”
“Sendiri?!” mata
bulat Bella mendelik
“Iya! Mana boleh
berdua?!”
“Ya udah.” Bella
menghembuskan napasnya dengan kencang. Kakinya dengan mantap melangkah masuk.
Suasana di dalam
kios itu benar-benar angker. Lampunya remang-remang. Lampionnya berasa dari
tengkoran manusia!
“Hai gadis
manis…” suara serak itu mengejutkan Bella. Tampak seorang wanita yang berjubah
hitam. Untung wajahnya tidak mengerikan.
“Namamu Bella,
bukan?”
“Nenek tahu?”
“Tentu saja.
Saat ini kamu lagi bahagia. Wow… seorang anak laki-laki bernama Andi. Siapa
dia?”
Muka Bella
memerah. Untung saja suasana di situ remang-remang.
“Pintar basket,
tampan, berotak encer. Seorang idola, haah?” wanita itu tertawa pelan. “Kamu
suka dia?”
“Be.. benar.”
“Masuklah ke
sini dan mimpimu akan jadi kenyataan.” Wanita itu membuka sebuah pintu. Di
dalamnya terdapat lorong yang gelap.
“Di bawah sini
teradapat lima ratus tangga. Turunlah perlahan-lahan. Di tangga ke-500 mimpimu
akan menjadi kenyataan.” Ujarnya pelan.
Bella masih
ragu. “Tapi…”
“Jangan ragu.”
Ucapan wanita itu meyakinkan Bella.
Perlahan-lahan,
kakinya ditapakkan ke tangga-tangga tersebut. Sementara itu, dia mulai
menghitung.
“1…2…3…4…5…6…7…8…9…10…11…12…13…14…15…16…17…18…19….20…”
Bella berhenti.
“Benar nggak ya
kata peramal tadi. Apa gue balik aja?” gumamnya.
“Jangan ragu. Terus
saja.” suara peramal itu terdengar menggema dan membesarkan hati Bella.
“21…22…23…24…25…26…27…28…28…30…31…32…33…34…35…”
Lorong itu
sangat panjang dan… gelap! Sebenarnya lorong itu lebih mirip sebuah gua. Di
kanan kirinya banyak batu karang. Bella terus berjalan dengan mantap.
“50…51…52…53…54…55…
Hei kok ada cahaya di sisi kanan?” tanya Bella. Perlahan dia turun lagi. Rasa
penasaran mengalahkan perasaan takutnya. Semakin turun, semakin jelas cahaya
itu dan terdengar senandung kecil dari tempat datangnya cahaya itu.
Bella menahan
napasnya. Jalannya lebih perlahan lagi. Dia mengintip ke sebuah ruangan yang
bercahaya. Di dalamnya terdapat berpuluh-puluh meja rias dengan lampu yang
bercahaya. Tampak seorang wanita berpakaian putih duduk di salah satu meja rias.
Wajah Bella terpantul dari kaca meja rias itu.
“Oh, Bella
manis. Silahkan masuk.” ujarnya ramah.
Bella tersenyum
canggung. “Maaf, tadi saya mengintip.”
“Ah, tidak
megapa. Setiap gadis yang datang ke mari selalu mengintip dulu, tapi tidak ada
yang meminta maaf seperti kamu.”
Bella tersenyum
lagi. Perempuan di hadapannya tidaklah cantik, tapi sangat ramah. Umurnya
kira-kira 50-an. Perawakannya pendek. Matanya bulat jernih dan bibirnya yang
dipoles lipstik merah selalu tersenyum.
“Kau ingin
menjumpai pangeran impianmu bukan? Dandananmu tidak boleh asal begini. Ayo sini
tante dandanin.” Ujarnya riang.
“Terima kasih,
Tante. Tapi saya…”
“Tante tahu.
Kamu tidak suka berdandan, tapi ini wajib hukumnya. Kalau Tante tidak
mendandani kamu, Deloris bisa marah.”
Bella terdiam.
“Tante janji,
tidak akan mendandanimu tebal-tebal. Tipis saja.” dia tersenyum.
“Baiklah.” Ujar
Bella akhinya.
“Mukamu bulat,
bentuk tulang pipimu bagus. Matamu bulat, hidungmu mancung. Bibirmu tipis manis
dan kulitmu putih.” Perempuan itu menyebutkan beberapa kelebihan dalam wajah
Bella. “Oke, ayo kita mulai.” Dia mulai menyiapkan alat-alat make-upnya. Bella berdecak kagum melihat
alat-alat make-up yang super lengkap
itu. Dari merek ‘Belia’ sampai ‘Revlon’ semua dimilikinya.
“Tante, saya
baru sampai di tangga ke-60. Masih ada 440 tangga lagi. Apakah dandanan saya
tidak luntur?” Bella tampak khawatir.
“Jangan
khawatir, manis. Dandanan Tante ini tidak akan luntur sebelum mimpimu
terwujud.” Senyumnya meredakan kekhawatiran Bella.
Perempuan itu
kemudian asyik mendandani Bella.
“Tante…” Bella
bersuara lagi.
“Ada apa,
sayang?”
“Bagaimana Tante
tahu nama saya?”
“Deloris yang
memberi tahu.”
“Bagaimana
Deloris bisa tahu?” Bella masih penasaran.
“Bella, Deloris
kan seorang peramal. Tentu saja dia tahu.”
Bella berdecak
kagum. Ternyata di zaman yang modern ini, masih ada orang yang mengetahui
hal-hal mistik dengan baik. Salah satu contohnya ya Deloris tadi. Buktinya dia
dapat mengetahui data-data Bella dengan baik, padahal Bella sama sekali tidak
mengenal Deloris. Bukahkah hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang
mengenal dunia gaib? Mengingat itu, Bella ngeri sendiri.
“Nah, sudah
selesai.” Ucapan perempuan tadi membuyarkan lamunan Bella. Bella membuka
matanya. Tidak tampak perubahan di wajahnya. Bella mengerutkan keningnya.
Bingung.
“Orang biasa
memang tidak dapat melihat dandanannya sebelum mengenakan gaun putih ini.” Ujar
perempuan tadi seperti membaca kebingungan Bella.
“Gaun ini?”
Bella menunjuk ke gaun putih yang tergantung di sebelah meja riasnya.
“Benar.
Pakailah.” Perempuan itu menyerahkan gaun putih itu kepada Bella. Bella
menerimanya dan pergi ke ruang ganti yang terletak di sudut ruangan. Tanpa
ragu, dia mengenakan gaun putih itu. Gaun putih itu pas sekali di tubuhnya.
Anehnya, tubuh Bella terasa ringan.
“Bella, coba
Tante lihat.” Bella ke luar dari ruang ganti dan berkaca lagi di meja rias.
Kali ini dia dapat melihat pancaran kecantikannya. Dan gaun putih itu
benar-benar indah! Bella merasa menjadi seorang putri.
“Astaga!
Benarkah orang itu aku?!” tanyanya.
“Benar, manis,
itu kamu.” Perempuan itu tersenyum.
“Ooh, Tante!
Terima kasih karena telah membuatku menjadi sangat cantik. Terima kasih,
Tante.” Bella memeluk perempuan itu.
“Pergilah,
jangan buang-buang waktu lagi.”
“Baik, terima
kasih sekali lagi, Tante.”
“Kau gadis
tercantik yang pernah Tante dandani.”
Bella tersenyum
manis. Dengan riang dia meneruskan langkahnya.
*
“80…81…82…83…84…85…86…87…88…89…90…91…92…93…94…95…96…
Hhh… capek.” Bella ngos-ngosan sendiri.
“Hihihi Kak
Bella capek ya?” suara itu melengking tinggi sekali.
“Siapa kamu?!”
“Hihihi…” suara
itu tetap tidak menampilkan wujudnya.
“Hei! Jangan
ketawa aja! Ayo, siapa kamu?”
“Kak Bella kok
galak sih?! Hihihi…” suara itu berubah jadi nyebelin.
“Kalau kamu
nggak mau ke luar, aku tetep galak!”
“Iya, iya, saya
ke luar, tapi Kak Bella jangan kabur ya! Hihihi…”
“Oke.” Bella
penasaran.
Tuing!!!
Tiba-tiba sebuah
sosok mungil muncul di hadapan Bella.
“Mami!!!!” Bella
menjerit keras sekali.
“Ssst..! Ribut!
Kak Bella diam dong!”
“Kamu siapa?”
Bella ketakutan setengah mati.
“Saya jin
kecil.” Jawabnya sambil tertawa polos.
“Haah?! J…
jin!!! Wah, tolong!!!” Bella menjerit lagi.
Tiba-tiba sosok
jin itu menghilang.
“Hei kok kamu
menghilang?” tanya Bella.
“Habis, Kak
Bella ribut sih!” protesnya.
“Iya deh, aku
janji nggak teriak lagi.” ujar Bella.
“Janji, ya?”
“Iya, swear!”
Dan tuiinggg… jin kecil itu nongol lagi.
Bella baru akan
mulai membuka mulutnya lagi. Dia teringat ancaman jin kecil itu.
“Kamu ini kok
berkeliaran di sini, sih?” tanya Bella.
“Saya emang di
sini tempatnya. Jagain tangga ke-103 yang dikenal sebagai angka sial itu.”
“Lho, angka sial
bukannya 13?” tanya Bella.
“Hihihi… Kakak
tahu ya?” dia mulai tertawa lagi. “Tangga ke-13 kan tangga permulaan, saya
nggak suka. Terang sih! Jadi saya usul sama Deloris biar saya jagain tangga
ke-103 aja. Sama aja kan kalo nolnya dihilangkan jadi angka 13.”
“Eh, kamu jin
ngerti matematika juga ya?”
“Eh, jangan
menghina ya! Gini-gini saya sudah lulus SD, tahu!”
“Ohya?! Terus
kenapa nggak diterusin ke SMP?”
“Terlanjur
dibeli sama Deloris.” Ujarnya sedih.
“Eh, kamu jangan
sedih dong! Nanti kesurupan setan loh!”
“Loh, saya kan
setan, Kak?”
“Oh iya, ya.
Lupa!” Bella nyengir. “Eh, udah ya! Saya mau nerusin lagi. Kamu nggak usah
sedih, deh. Nanti kalau saya dateng lagi, kamu saya bawain buku pelajaran. Biar
kamu bisa belajar. Ok!” Bella berdiri dan mulai berjalan lagi.
“Good luck, ya, Kak.” Jin itu tampak
bersemangat.
“Gile nih, jin.
Bisa ngomong Bahasa Inggris juga!” Bella geleng-geleng kepala.
*
“120…121…122…123…124…125…126…127…128…129…130…131…132…133…134…135…136…137…138…139…140…
Waah!!!”
Di tangga
ke-140, Bella terperosok ke seuah lubang dekat tangga itu.
“Tolong!!!”
suara Bella melengking.
“Sebutkan
namamu!” terdengar sebuah suara.
“Bella!!!” bella
terus jatuh ke bawah. Brukk. Akhirnya
Bella terjatuh di sebuah lantai berpapan.
“Aduhh…” Bella
meringis pelan.
“Hei, kamu nggak
kenapa-napa, kan?” tanya sebuah suara.
“Aduh, aku masih
hidup kok.” Ujar Bella sambil merintih. Tiba-tiba di hadapannya, muncul seorang
anak kecil. Seorang anak laki-laki. Umurnya kira-kira 12 tahun. dia memegang
sebuah tongkat panjang.
“Siapa kamu?”
tanya Bella.
“Aku Athor,
penjaga ‘gua jatuh’. Kau sudah terjatuh di sini.” Ujarnya sambil memamerkan
senyum manisnya.
“Aku bisa naik
lagi, nggak?”
“Tentu aja bisa,
tapi kamu harus mendaki dinding gua ini.” Ujarnya sambil menunjuk ke dinding
gua yang tinggi.
“Aku coba, deh.”
Bella coba berdiri, tapi, “Aduuh…”
“Kenapa?” tanya
anak itu.
“Kakiku
terkilir. Sakit sekali!” wajah Bella pucat.
“Udah, deh. Mendingan
kamu istirahat dulu.”
“Athor, sesudah
kamu masih ada siapa lagi, sih?”
“Maksudmu
sesudah ‘gua jatuh’ ini?”
“He-eh.” Bella mengangguk.
“Kamu nanti bisa
ketemu paman dan kakakku.” Ujarnya.
“Paman dan
kakakmu?”
“Iya, pamanku
bisa kau temui di dapur gua. Dia juru masak di gua ini.”
“Dan kakakmu?”
“Dia penjaga
mata air. Jangan khawatir, mereka baik kok.” Anak itu tersenyum lagi.
“Athor, aku mau
naik lagi, tapi kakiku sakit sekali.” Ujar Bella pelan. “Bagaimana ini?”
“Duduklah dan
julurkan kakimu.” Perintahnya. Bella menurut saja. Dia menjulurkan kakinya.
Athor bernapas
teratur. Matanya terpejam rapat. Kemudian perlahan tanganya mengusap lembut
kaki Bella. Bella merasa ada sungai yang mengalir di kakinya. Dingin kemudian
hangat.
“Kakimu sudah
sembuh.” Bella mencoba menggerakkan kakinya. Ternyata sudah tidak sakit lagi.
“Thanks ya, Athor.” Bella tersenyum
manis.
“Sama-sama.”
Athor juga tersenyum. “Ayo kita naiK!” ajaknya.
“Oke, ayo!”
Bella bersemangat lagi.
Perlahan mereka
mendaki lagi. Athor cepat sekali mendakinya! Sebentar saja, dia sudah sampai ke
tengah-tengah dinding. Sementara Bella baru merambat perlahan-lahan.
“Hei, kamu lama
sekali sih?!” Athor tampak kesal.
“Jelas dong! Aku
kan perempuan. Kamu laki-laki.” Bella terengah-engah.
“Lho, apa
bedanya? Bahkan kamu lebih besar daripadaku.”
“Jelas beda! Aku
ini mahkluk yang diciptakan Tuhan sebagai orang yang lemah. Sedangkan kamu
diciptakan Tuhan sebagai seorang yang kuat.” Jelas Bella.
“Aku tetap ngga
ngerti tuh!”
“Kamu polos
banget, sih!” Bella tersenyum.
“Lalu apa
bedanya aku dan kamu?” tanyanya lagi.
“Nih, lihat aja
bajuku. Ini gaun dan pakaianmu adalah celana. Itu udah menunjukkan perbedaan
kita dengan jelas.” Bella terus mendaki. Kali ini Athor ketinggalan jauh di
bawah, tapi kemudian dia menyusulnya dan berada di atas Bella lagi.
“Masih ada
perbedaan lain nggak?” rupanya dia masih penasaran.
Bella mengatur
napasnya, “Lihat tangan dan kakimu, kekar kan? Urat-uratnya menonjol ke luar. Itu
menandakan kalau kamu adalah seorang laki-laki. Sedangkan tanganku halus dan
lembut. Urat-urat di tanganku sedikit yang menonjol ke luar bahkan ada yang
tidak ada sama sekali. Itu menandakan aku adalah seorang wanita.” Jelas Bella
panjang lebar.
“Hanya itu?”
tanya Athor polos.
“Tentu saja
masih banyak lagi, tapi sekarang nggak bisa aku jelaskan. Soalnya, kamu masih
terlalu kecil. Nanti kalau kamu sudah dewasa, kamu pasti tahu sendiri.”
Akhirnya Bella mencapai puncak dinding gua itu.
“Athor, aku
sudah sampai. Gimana cara ke luar dari gua ini?”
“Sebentar.”
Athor menyentuhkan tongkatnya kepada langit-langit gua itu. Tiba-tiba,
langit-langit itu terbuka. Bella tersenyum lebar.
“Athor, terima
kasih kamu sudah mau membantuku ke luar dari sini.” Bella mengecup lembut
kening Athor.
“Bella, kamu
sungguh cantik.” Athor berkata dengan polos.
“Hmmm… anak
lugu.” Bella mengusap rambut Athor. “Udah ya, aku pergi.” Bella pamit kepada Athor.
Sesampainya Bella
di tangga-tangga itu, langit-langit ‘gua jatuh’ tertutup lagi. bella melihat
Athor menitikkan air mata…
*
“201…202…203…204…205…206…207…208…209…210…211…212…213…214…215…216…217…218…219…220…
Aduh kok jadi laper ya.” Bella mengusap perutnya.
“Oh iya, tadi
gue belum makan siang! Gawat! Gimana, nih?” Bella menggaruk kepalanya yang
tidak gatal itu.
“Eh, itu ada
makanan.” Mata bella melihat apple pie yang
tergeletak di tangga.
“Tapi, beracun
nggak ya?” Bella ragu. Tiba-tiba pluk!
Ada sesuatu yang ditimpukkan ke kepalanya.
“Aduh, apaan
nih?” Bella mengusap kepalanya.
“Hei! Kamu ini
anak gadis tapi berprasangka buruk!” sebuah suara berat menggema di gua itu.
“Siapa kamu?”
“Aku koki di gua
ini. Dan aku tidak akan pernah mencampurkan racun dalam masakanku, tau!” sebuah
sosok pendek ke luar dari sisi kiri gua. Bentuk tubuhnya bulat pendek, dia
mengenakan topi koki dan celemek yang sudah sangat kotor.
“Anda koki di
gua ini?” Bella mengerutkan keningnya. “Berarti Anda adalah paman Athor,
penjaga ‘gua jatuh’. Iya, kan?” tebak Bella.
“Betul sekali,
gadis manis.” Dia tertawa terkekeh-kekeh. “Kamu lapar? Ayo masuk! Di sini
banyak makanan yang enak.” Dia mempersilahkan Bella masuk ke sebuah ruangan. Ruangan
itu adalah sebuah ruang makan. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja makan
yang panjang. Dan di atasnya terdapat bermacam-macam makanan yang enak-enka. Bella
kemudian dipersilahkan duduk.
“Nah, cicipilah
gadis manis.” Orang itu tertawa lagi.
Bella mengangguk
dan mulai mencicipi makanan-makanan itu satu per satu. Dia memulai dengan
agar-agar yang berwarna merah, kemudian sepotong paha kalkun, semangkuk sup
asparagus, sepotong kue tart, minum juice jeruk dan mengakhirinya dengan cake puding. Semuanya lezat!!!
“Terima kasih, Paman.
Ini semua benar-benar lezat sekali.” Bella membersihkan mulutnya.
“Kamu sudah
kenyang?” tanya orang itu.
“Saya kenyang
sekali.” Bella menjawab sambil tersenyum.
“Lanjutkanlah
perjalananmu. Jangan buang-buang waktu lagi.” dia tertawa lagi.
“Terima kasih
banyak, Paman.”
“Semoga
berhasil.” Dia menepuk-nepuk pundak Bella.
*I
“390…391…392…393…394…395…396…397…398…399…400…
Hhh… masih ada 100 tangga lagi. Perasaan lama banget, deh.” Bella
terengah-engah. “Mana sekarang haus lagi!” sungutnya. Dia terdiam. Telinganya menangkap
bunyi gemericik air. Makin jelas terdengar. Jelas dan jelas. Akhirnya di tangga
ke-420, Bella menemukan sebuah kolam degan pancuran air di tengahnya.
“Air…” Bella
bagai orang yang melihat harta karun. Cepat diraupnya air itu dan langsung
diminumnya.
“Segar!” ujarnya
sambil tertawa senang. Tiba-tiba, dari belakang ada sosok yang mendorongnya. “Waa!!!”
Bella tercebur ke dalam kolam itu.
“Hahaha!!!”
terdengar tawa yang membahana.
“Blep… glek…
siapa kamu?” Bella megap-megap di dalam kolam.
“Aku yang harus
bertanya, siapa kamu?” sebuah sosok tegap ke luar dari gelap.
“Aku.. glek…”
Bella tidak bisa berbicara. Tiba-tiba sepasang tangan kekar menari tangannya ke
luar dari kolam itu.
“Kenapa kamu
menolong dia?!?!?!” suara itu membahana lagi.
“Dia Bella.” Suara
lain juga membahan, tapi yang ini lebih lembut.
“Kau tidka
apa-apa?” dia membungkuk di hadapan Bella.
“Hanya sedikit
kaget.” Jawab Bella.
“Maafkan. Akibat
ulah saudara kembarku, bajumu jadi basah kuyup begini.” Ujarnya penuh sesal.
“Saudara kembar?”
Bella mengusap matanya dan sekarang dia dapat melihat dua sosok itu dengan
jelas. Dua orang cowok keren! Yang satu mengenakan baju berwarna merah dan yang
berada di dekat Bella mengenakan baju berwarna biru. Wajah mereka satu samalain
benar-benar mirip. Tidak bisa dibedakan! Saat ini Bella hanya dapat membedakan
mereka lewat warna baju mereka yang berbeda.
“Hei, kaum hawa!
Siapa namamu?” cowok yang berbaju merah mencengkram tangan Bella keras. Bella meringis
kesakitan.
“Lepaskan dia! Sudah
kubilang tadi, namanya Bella!” cowok yang berbaju biru menarik tangan saudara
kembarnya.
Bella terdiam. Sekarang,
dia melihat perbedaan mereka dengan jelas. Meskipun bertubuh sama-sama kekar,
tapi si baju merah lebih kasar daripada si baju biru. Wajah mereka pun berbeda.
Si baju merah mempunyai wajah yang keras dan berkesan selalu memendam benci dan
dendam. Sedangkan si baju biru berwajah lembut dan bersahabat.
“Mengapa kamu
selalu membela dia?!” si baju merah mulai mengamuk. Matanya memandang tajam ke
arah si baju biru.
“Dengar! Aku tidak
peduli kau lahir lebih dulu, tapi tingkahmu benar-benar sudah keterlaluan, tau!”
si baju biru tidak kalah geram. Tubuhnya menggigil menahan marah.
“Hatssyyiii…”
tiba-tiba Bella bersin.
“Dasar kaum
lemah! Begitu saja mulai bersin!” si baju merah melecehkan.
“Kamu dingin?”
si baju biru mengambil kayu bakar di dekat kolam air itu dan mulai membuat api.
“Nah, duduklah di depannya supaya kamu merasa hangat.” Si baju biru membimbing Bella
ke depan api unggun.
“Maafkan saudara
kembarku. Dia memang kasar, tapi sebenarnya dia baik hati.”
Bella tersenyum
tipis.
Byaar!!!
Tiba-tiba api
unggu di hadapan Bella bertambah besar.
“Awas apinya
marah!!! Hahaha!!!” si baju merah membuat masalah lagi.
“Kamu
benar-benar keterlaluan!” si baju biru geram. Dia berdiri dan kemudian
menerjang kea rah si baju merah. Mereka berkelahi. Terjadi pergumulan seru di
antara mereka berdua. Bella takut. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia
benar-benar takut… sementara itu, api di hadapannya terus membesar!!!
“Toloongg!!!”
akhirnya dia berteriak.
Pergumulan yang
seru itu berhenti. Mereka berdua menoleh kea rah Bella yang terjebak api besar.
“Kak, tolong
dia. Hanya kau yang punya kuasa atas api. Kumohon tolong dia.” Si baju biru
berlutut di hadapan baju merah.
Si baju merah
tampak ragu.
“Tolong!!!” kali
ini Bella berteriak lebih keras lagi.
“Kak, tolong
dia!!!” si baju biru mendesak saudara kembarnya. Si baju merah menghembuskan
napasnya kuat-kuat. Seketika itu api yang tadi besar mulai padam dan akhirnya
sinarnya padam sama sekali!
“Kau tidak
apa-apa?” tanya si baju biru.
“Tanganku
terbakar!” Bella menjerit. Si baju biru tampak bingung. Tiba-tiba si baju merah
mencengkeram pundak si baju biru.
“Biar
kusembuhkan.” Ujarnya. Dia kemudian mendekati Bella. Dilihatnya tangan Bella
yang terbakar. Dia menghembuskan napasnya perlahan ke tangan Bella. Tangan Bella
sembuh! Hanya terdapat bercak-bercak hitam saja.
“Bercak ini
dapat dihilangkan oleh saudara kembarku.” Dia menoleh ke arah saudaranya. “Giliranmu.”
Si baju biru
mendekati Bella. Sama dengan si baju merah. Dia juga menghembuskan napasnya ke
tangan Bella. Terdapat cahaya warna biru di atas tangan Bella. Cahaya itu
berputar membentuk suatu bulatan dan akhirnya cahaya itu meresap ke tangan
Bella. Tangan Bella berwarna kebiru-biruan dan kemudian putih kembali. Bercak hitam
itu hilang dan luka Bella sembuh total!
“Nah, tangamu
sudah sembuh.” Si baju biru tersenyum.
“Maaf, aku telah
berlaku kasar terhadapmu.” Si baju merah mendekat.
“Aku tidak tahu
siapa kalian, tapi kuharap akurlah. Jangan bertengkar terus. Kalian ini
bersaudara, tak baik bila terus bertengkar.” Bella menatap si baju merah. “Kamu
lebih tua daripada saudaramu. Bersikaplah lebih baik untuk memberi contoh
kepada saudaramu. Jangan sampai kau tak dihormati adikmu.”
“Dan kau…” Bella
menapat si baju biru. “Kamu sungguh baik hati. Terima kasih atas pertolonganmu.”
Si baju biru
tersenyum.
“Nah, aku harus
melanjutkan perjalananku lagi.” Bella berdiri.
“Tunggu!” kata
mereka serempak. Bella menoleh. Tiba-tiba mereka berdua mendaratkan kecupannya
di pipi Bella. Si baju biru di pipi kanan Bella, si baju merah di pipi kiri
Bella.
“Selamat jalan,
Bella.” Bisik mereka.
Bella pun
melanjutkan perjalanannya.
“Cowok-cowok
yang menyenangkan.” Gumamnya.
*
“480…481…482…483…484…485…486…487…488…489…490…491…492…
Hei di ujung tangga ini masih ada orang. Menurut Athor, setelah kakaknya
penjaga mata iar, tidak ada siapa-siapa lagi.” gumam Bella.
“Hallo, manis.
Selamat kamu berhasil melewati semua rintangan di tangga ini. Sekarang, di
tangga yang terakhir ini, mimpimu akan terwujud.” Di tangga ke-500 terdapat
sebuah pintu dengan seorang wanita berjubah seperti Dewi Aphrodite menjaganya.
“Siapa kamu?”
“Aku penjaga
dunia mimpi.” Ujarnya sambil tersenyum manis. “Kamu ingin menemui pangeranmu
bukan? Dia ada di sini.” Wanita itu membuka pintu di sisi kanannya. Dari dalamnya
ke luar sinar putih yang amat menyilaukan. Bella menyipitkan matanya. Sinar putih
itu makin lama makin hilang.
“Masuklah.” Bella
melangkah masuk. Ternyata dia berada di sebuah lapangan basket. Rupanya ada
pertandingan basket di situ. Bella terkesiap ketika melihat seorang cowok yang
men-dribell bola dengan lincahnya. Dia
melompat dan memasukkan bola ke dalam ring basket.
“Andii…” teriak
Bella. Andi terdiam dan menatap ke arah Bella, tapi kemudian dia berkonsentrasi
lagi pada pertandingan yang sedang berlangsun.
“Andi! Ini aku
Bella!” Bella berusaha mendekati Andi, tapi dihadang oleh dua orang berbaju
zirah.
“Maaf! Kamu
tidak boleh mendekati dia!” ujar salah satu dari mereka.
“Andi! Aku Bella!!!
Andi!!!” Bella menjerit sekuat-kuatnya.
Tiba-tiba Andi
terdiam. Dia berhenti bermain. Pemain-pemain lain juga berhenti. Sorak-sorai
penonton terdiam. Semua memandang ke arah Bella.
“Bella! Bella!
Bella!!!” semua meneriakkan namanya.
“Tidaaakkk!!!”
Bella menutup dua matanya. Gelap!
*
“Bella! Bella!
Bangun! Kamu ini belum ganti baju seragam, belum makan siang, udah molor! Malu tuh
sama kucing tetangga!” Putra, kakak Bella mengguncang-guncangkan tubuh Bella.
“Kak Putra!”
Bella tampak bingung.
“Gih, sana mandi
dulu! Bau tau!” goda kakaknya. Kakaknya berjalan ke luar dari kamar Bella. “Udah
mandi, makan siang! Buruan! Udah ditungguin Mama tuh!”
Bella masih
termangu di meja belajarnya.
“Semua ini mimpi…” gumamnya. Dia menatap
wajahnya didepan meja riasnya. Lemari pakaiannya terpantul dari cermin meja
riasnya. Sebuah gaun putih terpantul jelas di cerminnya. Gaun itu tergantung di
depan lemari pakaiannya. Bella mengusap matanya. Dia mengenali gaun itu sebagai
gaun yang dia pakai selama dalam mimpi tadi!
Bella terkejut! Dia berjalan menuju
lemari pakaiannya dan meraba gaun putih itu. Benar-benar nyata! Tiba-tiba suara
ketukan pintu berbunyi dan Putra menyembulkan kepalany.
“Ada telepon dari Andi.” Ujarnya.
Dengan ragu Bella menjawab telepon
itu.
“Ha… hallo…”
“Ehm, Bella ya.. kamu nggak
apa-apa, kan?” Tanya suara bass di seberang. Suara Andi!!!
“Aku baik-baik aja kok.”
“Bella, hari Sabtu nanti kamu ada
janji nggak?”
“Nggak, kenapa?”
“Aku mau ngajak kamu nonton. Mau nggak?”
Oh
God! Bella benar-benar nggak nyangka!!!
“Hallo! Bella, kamu masih di situ?”
tanya Andi khawatir.
“Eh, masih.” Jawab Bella gugup.
“Gimana?”
“Boleh.”
“Bener ya! Eh, Bella besok aku
jemput kamu ke sekolah ya.” Tawar Andi lagi.
“Boleh.” Sekali lagi Bella
mengangguk.
“Oke, udah dulu ya.” Andi menutup
pembicaraan mereka.
“Cihuiii!!!” Bella melompat
kegirangan.
“Hoi! Apa-apaan lo?!” Putra
kebingungan.
“Gue lagi seneng!” Dia nyengir
lebar.
“Seneng seneng, tapi lo belon mandi
tau!”
“Iya, iya. Gue mandi! Bye!” Bella gila lagi.
Putra cuma geleng-geleng kepala. Bingung.