Kamis, 07 Agustus 2008

COKA SI KELINCI

Coka si kelinci coklat tampak melompat tanpa tujuan. Dia menendang-nendang batu, tanah, rating pohon, atau apa saja yang dia temukan di tanah. Tampaknya dia sedang kesal.
Pika si burung parkit yang kebetulan hinggap di sebuah pohon, melongokkan kepalanya untuk melihat Coka.
Ada apa Coka?” tanyanya. “Kenapa kau?”
“Aku kessssaaaalllll!!!!!” Coka berteriak kencang. “Aku sedang ingin santai-santai saja di liangku, namun tiba-tiba Pak Tupai masuk begitu saja ke dalam liangku. Dia membawa kedelapan anaknya yang nakal-nakal. Mereka seenaknya saja mengacak-acak liangku.”
Coka kembali menendang sebuah batu.
“Aku marah dan kuusir Pak Tupai karena menggangguku, tapi dia hanya tertawa terbahak-bahak. Dia dan semua binatang menganggapku binatang yang lucu, imut-imut, jinak… Mereka tidak takut dan menaruh hormat kepadaku. Aku tidak mau seperti itu!!!! Aku ingin jadi binatang buas!!!!! Mereka tidak akan berani berbuat seperti itu kepada binatang buas!!!”
Pika melongo heran. Baru kali ini dia mendengar ada kelinci yang ingin menjadi binatang buas. Baginya pikiran itu aneh.
“Ketika aku keluar dari liangku dan berjalan-jalan, segerombolan berang-berang menertawaiku dan mencubiti pipiku. Dan hal itu sudah sering terjadi. Kalau aku marah, mereka malah tertawa terbahak-bahak dan menganggap tingkahku lucu.”
“Aah… seandainya aku terlahir sebagai binatang buas, tentu tidak akan begini jadinya…” Coka menunduk putus asa.
Pika terbang rendah dan hinggap di akar pohon yang tumbuh di atas tanah. Melihat sahabatnya sedang gundah, Pika ingin menolong.
“Sepertinya aku tahu siapa yang dapat membantumu…” kata Pika.
Coka mengangkat wajahnya. “Cepat beritahu aku!!!” ujarnya dengan riang.
“Pak Keno si burung hantu, mungkin dia dapat membantumu…Dia adalah burung hantu yang bijaksana.”
“Tunggu apa lagi? Tunjukkan tempatnya padaku!!!”
Pika pun membawa Coka menemui Pak Keno.
Ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Keno sambil mempersilahkan Coka dan Pika duduk.
Coka segera bercerita. Dia menceritakan kekesalannya karena tidak dihormati oleh binatang-binatang lain dan kekesalannya terhadap tingkah laku binatang lain yang seenaknya saja masuk dan mengacak-acak liangnya. Dan juga tingkah laku binatang lain yang menertawai dan mencubiti pipinya setiap dia lewat.
“Itu semua membuatku kesal Pak Keno!!!” serunya mengakhiri ceritanya.
“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?” tanyanya pelan.
“Aku ingin menjadi binatang buas!” sahut Coka cepat.
Dahi Pak Keno mengerut bingung, “Kenapa kau ingin menjadi binatang buas?”
“Binatang buas tidak akan diperlakukan seenaknya oleh binatang lain. Semua binatang menghormati, bahkan takut terhadap binatang buas!!!”
“Aku sudah mengasah gigiku…” Coka membuka lebar-lebar mulutnya agar Pak Keno, juga Pika, dapat melihat giginya. Pika memperhatikan gigi Coka. Memang gigi itu kini tajam seperti pisau! “Agar gigiku setajam gigi buaya, harimau, dan singa…”
“Aku juga berhenti makan wortel dan berburu binatang untuk kumakan. Seperti binatang buas…”
“Dan?” tanya Pak Keno.
Coka menggeleng, “Aku tidak berhasil berburu. Seperti yang aku katakan, tidak ada binatang yang takut kepadaku.”
“Apa yang harus kulakukan?” tanya Coka dengan wajah putus asa.
“Anggapanmu bahwa binatang buas ditakuti oleh binatang-binatang lain memang benar, tapi apakah mereka bahagia dengan keadaan mereka yang seperti itu?”
Coka menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “Aku tidak mau tahu!!! Aku ingin menjadi binatang buas!!!”
Pak Keno menghela napasnya, “Baiklah. Aku hanya punya satu nasehat untukmu. Ikutilah binatang buas. Perhatikan segala tingkah laku binatang buas. Belajarlah dari mereka.”
Dalam perjalanan pulang, Coka dan Pika bertemu dengan seekor beruang besar. Tubuhnya besar sekali. Tangannya besar dengan kuku-kuku setajam pisau. Ketika dia menggeram, tampak gigi-gigi yang kuat dan tajam.
“Aku akan mengikuti dia!!!” seru Coka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia berdiri dan berjalan mengendap-endap di belakang si beruang besar. Pika terbang rendah mengikuti Coka. Sepanjang hari, Coka dan Pika mengikuti si beruang besar. Selama itu, Coka mempelajari semua tindak-tanduknya. Coka memperhatikan bagaimana dia menggeram, melompat, mencakar, menerkam, menggigit. Setiap kali si beruang besar lewat, semua binatang menyingkir ketakutan.
Coka senang. Dia mulai merasa bahwa dia telah menjadi binatang buas yang sesungguhnya. Pika, sebaliknya, tidak terlalu suka perjalanan ini. Dia tidak suka melihat teman-temannya menyingkir ketika dia lewat. Hanya saja, dia merasa kasihan melihat Coka dan ingin menemaninya.
Ketika malam tiba, Coka dan Pika tidur dekat si beruang besar. Baru saja Coka hendak memejamkan matanya, dia mendengar isak tangis. Dia terbangun dengan telinga tegak.
Ada apa, Coka?” gumam Pika tidak jelas.
“Aku mendengar suara tangisan.” Coka mengangguk-angguk. “Siapa gerangan yang sedang menangis?”
Pika mempertajam pendengarannya. Benar, ada suara tangisan.
Coka dan Pika mendekati si beruang besar dan suara isak tangis itu bertambah jelas. Ternyata si beruang besar yang sedang menangis. Tubuhnya turun-naik seiring dengan isakan tangisnya.
“Hhhaa… hallo…” Coka dan Pika memberanikan diri untuk menyapa si beruang besar.
Si beruang besar menoleh. Dia menyeka air matanya. “Hallo…” balasnya sedih.
“Mengapa kau menangis?” tanya Coka.
“Tidak ada binatang yang mau menjadi temanku. Semuanya takut dan menyingkir bila aku lewat. Padahal aku sangat ingin bermain bersama mereka…”
Coka terkejut. Ternyata si beruang besar malah tidak mau ditakuti oleh binatang lain!
“Ta… tapi, bukankah itu tandanya mereka takut kepada binatang buas sepertimu? Tandanya mereka menghormati dan menyeganimu?” tanyanya.
“Untuk apa ditakuti, disegani, dan dihormati?!?!?! Aku kesepian!!! Aku ingin punya banyak teman!!!”
Pika dan Coka terdiam.
“Kupikir dengan menjadi binatang buas, semua binatang akan menghormatiku. Mereka tidak akan berani seenaknya kepadaku.” ujar Coka pelan
“Percayalah… tidak enak rasanya ditakuti oleh binatang lain. Aku lebih suka punya banyak teman daripada ditakuti binatang-binatang lain.”
Si beruang besar kembali menangis tersedu-sedu.
“Kami mau menjadi temanmu.” ujar Pika. Dia terbang dan hinggap di bahu si beruang besar.
“Sungguh????” tanya si beruang besar dengan mata berbinar.
“Ya… kami mau menjadi temanmu.” ujar Coka. “Kami akan selalu menemanimu.”
Sejak saat itu, Coka, Pika, dan si beruang besar berteman baik. Coka dan Pika mengajari si beruang besar makan madu dan dia berhenti berburu. Binatang-binatang lain pun tidak takut lagi kepada si beruang besar, sebaliknya, mereka jadi menyukai si beruang besar.
Bagaimana dengan Coka? Apakah dia masing ingin menjadi kelinci buas? Tidak. Dia kemudian sadar kalau ternyata lebih baik disukai semua binatang daripada ditakut dan kesepian.

Tidak ada komentar: